Kekerasan Seksual di Lingkungan Kerja Menjadi Hantu bagi para Pekerja


Amel (tengah) didampingi sahabat dan dosennya, Ade Armando (kiri).
Kekerasan seksual di lingkungan kerja bagaikan fenomena gunung es, kasus-kasus yang terungkap hanyalah secuil dari banyaknya kasus yang terjadi. Salah satu kasus yang belakangan mencuat ke permukaan yakni dugaan kekerasan seksual yang dialami karyawati kontrak Asisten Ahli Badan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan (TK) bernama Rizky Amelia.

Amel sapaan akrab perempuan berusia 27 tahun ini, mengaku mengalami kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh atasannya sendiri salah seorang anggota Badan Pengawas BPJS TK, Syafri Adnan Baharuddin.

Kekerasan seksual yang dialami Amel tidak hanya berlangsung di kantor saja, dalam empat kali perjalanan dinas sejak tahun 2016 hingga 2018, ia mengaku diperkosa oleh Syafri. Diceritakan oleh Amel, Syafri pertama kali melakukan pemerkosaan di Pontianak kemudian kembali melakukan tindakkan biadab itu saat perjalanan dinas ke Makassar, Bandung dan Jakarta.

Syafri juga dituding acap kali melakukan kekerasan seksual verbal, baik secara langsung maupun melalui pesan singkat.

“Saya adalah korban kejahatan seksual yang dilakukan atasan saya di Dewan Pengawas BPJS Tenaga Kerja, dalam periode April 2016 sampai November 2018. Saya menjadi korban empat kali perkosaan oleh oknum yang sama. Di luar itu saya mengalami berulang kali tindakan pelecehan seksual, baik di dalam maupun di luar kantor," kata Amel yang menceritakan pengalaman pilunya tanpa bisa menahan air matanya, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (28/12/2018).

Kekerasan seksual yang dialami Amel terjadi cukup lama lantaran adanya relasi kuasa antara Amel yang bawan dengan Syafri sebagai atasannya sehingga membuat Amel tidak berani mengungkapkan perlakuan tak pantas yang dialaminya. Menurut Amel, Syafri ini merupakan orang yang dominan dan dihormati di lingkungan BPJS-TK, bahkan dikenal sebagai seseorang yang ditakuti dan tak jarang berkata kasar kepada bawahannya.

Sebetulnya Amel tidak benar-benar mendiamkan kekerasan seksual yang dialaminya, beberapa kali ia berusaha menolak paksaan berhubungan seks.
Saat pertama kali mendapatkan tindak kekerasan seksual pun, Amel pernah melapor ke salah satu anggota Dewan Pengawas, namun tidak ada tindakan perlindungan kepadanya, padahal anggota Dewan Pengawas itu berjanji melindungi Amel.

Justru ia merasa disudutkan oleh sesama perempuan di komite tempatnya bertugas sebab banyak kabar buruk yang berseliweran di lingkungan kantor mengenai dirinya.

"Saya mendengar kabar-kabar buruk mengenai saya menyebar di kantor. Sesama perempuan di komite tempat saya bekerja malah menyudutkan saya. Mungkin karena mereka adalah saudara, kerabat, atau kenalan anggota Dewan Pengawas," ungkap Amel.

Di awal Desember 2018, akhirnya Amel memberanikan diri untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya kepada Ketua Dewan Pengawas BPJS-TK, Guntur Witjaksono. Namun sayangnya, bukan keadilan yang didapat, Dewan Pengawas justru membela Syafri dengan mengeluarkan surat Perjanjian Bersama yang isinya memutus hak kerja Amel.

"Di awal Desember, saya menghadap Ketua Dewan Pengawas untuk mengadukan kejahatan seks yang saya alami. Ternyata Dewan Pengawas justru membela perilaku bejat itu. Hasil rapat Dewan Pengawas pada 4 Desember justru memutuskan mengeluarkan Perjanjian Bersama yang isinya mem-PHK saya sejak Desember 2018, tapi saya menolak tanda tangan Surat Perjanjian Bersama itu," ucap Amel.

Tidak tinggal diam, Amel yang enggan menandatangani surat pemutusan hak kerja, terus berjuang mencari keadilan. Tindakan selanjutnya yang dilakukan Amel dalam mencari keadilan yaitu dengan mengirimkan surat ke Dewan Jaminan Sosial Negara (DJSN).

Hal ini dilakukan agar bisa memberikan rekomendasi pemberhentian terduga pelaku sebagai anggota Dewan Pengawas BPJS-TK. Tak hanya itu, Amel juga telah mengirimkan surat kepada Presiden, Joko Widodo. Disebutkan Amel, pada hari Senin mendatang (31/12/2018), kuasa hukumnya akan melaporkan masalah ini ke pihak kepolisian meski hanya akan melaporkan terkait pelanggaran hukum perdata

"Saya sudah mengirimkan surat ke DJSN yang memiliki kewenangan merekomendasikan pemberhentian anggota Dewan Pengawas BPJS-TK kepada Presiden, atau merekomendasikan instansi (dalam hal ini Menteri Keuangan) untuk menarik kembali orang yang dikirimnya menjadi anggota Dewan Pengawas BPJS-TK. Saya sudah mengirimkan surat kepada Presiden dan kuasa hukum saya hari Senin akan melaporkan kasus ini ke polisi," jelas Amel.

Bukan Hal Lumrah tapi Kekerasan Seksual di Lingkungan Kerja Kerap Terjadi

Amel tak sendiri sebagai pekerja yang diduga mendapatkan kekerasan seksual di lingkungan kerjanya. Dilansir dari magdalene.co, ada fakta terbaru yang menyebutkan 81,29 persen pekerja mengaku mengalami kekerasan seksual di tempat kerja.

Fakta itu didapatkan dari hasil survei terbaru yang dilakukan oleh Never Okay Project bersama dengan platform kolaborasi media Scoop Asia. Survei itu dilakukan pada tanggal 19 November 2018 hingga 9 Desember 2018 yang melibatkan responden sebanyak 1.240 orang. Reseponden terdiri dari pekerja perempuan (82,82 persen) maupun laki-laki (17,18 persen) dengan rentan usia 25 tahun sampai 34 tahun di tiga provinsi yakni DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Dari survei itu, 94 persen pekerja mengaku pernah mengalami pelecehan seksual secara fisik. Kemudian sekitar 76 persen pekerja yang disurvei mengaku mendapatkan pelecehan seksual secara lisan, pelecehan seksual melalui isyarat juga diterima oleh sekitar 42 persen pekerja.

Pelecehan seksual melalui tulisan atau gambar juga ditemukan dalam survei ini, bentuk pelecehan seperti itu dialami oleh sekitar 26 persen pekerja, 13 persen pekerja menganggap lingkungan kerja mereka tidak bersahabat, 7 persen pekerja yang menjadi responden mengaku ditawari imbalan untuk melakukan sesuatu. Sementara itu, ada data yang mengatakan 1 persen pekerja mendapatkan penyerangan seksual di lingkungan kerja.

Selanjutnya, dari survei itu ditemukan, mayoritas korban kekerasan seksual--sebanyak 65,56 persen-- merupakan staff.

Jika dilihat dari pelaku pelecehan seksual di lingkungan kerja, ditemukan ada 36 persen pelecehan seksual dilakukan oleh atasan atau rekan kerja senior, 34 persen dilakukan oleh rekan kerja sebaya. Tidak hanya itu, ditemukan pula 12 persen pelecehan seksual dilakukan oleh rekan kerja di luar organisasi, 5 persen pelecehan seksual dilakukan oleh bawahan dan sekitar 2 persen pelecehan dilakukan oleh pihak lainnya seperti orang lain di kantor, OB, satpam ataupun tukang bangunan.

Survei itu juga mencoba menggali hal-hal yang menyebabkan para korban kekerasan seksual enggan melaporkan kekerasan yang dialami ke bagian Sumber Daya Manusia (SDM) di tempat mereka bekerja. Mereka memilih tidak melapor dengan alasan pihak managemen tidak akan melakukan tindakan apa pun meski menerima laporan adanya kekerasan seksual. Diantara responden pun ada yang merasa takut disalahkan jika melaporkan pengalaman mereka ke bagian SDM.

Beberapa pekerja juga khawatir karirnya akan terganggu jika mereka melaporkan kekerasan seksual yang dialami. Ada juga yang beralasan, pelaku kekerasan seksual adalah kepala bagian SDM sehingga korban enggan melaporkan pengalamannya dan ada juga kekhawatiran dari pekerja yang menjadi korban, nantinya mereka akan mendapatkan balasan dari pelaku jika berani melaporkan kekerasan seksual yang dialami.

Ketidakyakinan korban kekerasan seksual di lingkungan kerja dengan sikap managemen kantor dalam memberikan keadilan ketika menanggapi adanya kekerasan seksual ini, didukung adanya fakta bahwa hingga hari ini tidak ada peraturan yang diatur oleh Departemen Ketenagakerjaan terkait kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kerja. Hal itu diungkapkan oleh Partnership Volunteer Never Okay Project, Trinzi Mulamawitri.

Maka dari itu, dengan adanya survei tentang kekerasan seksual di lingkungan kerja, diharapkan akan mendorong instansi terkait untuk membuat peraturan yang menjamin keselamatan pekerja dari tindakan kekerasan seksual di lingkungan kerja.

“Hingga saat ini, Departemen Ketenagakerjaan belum mengatur isu pelecehan seksual di tempat kerja. Maka dari itu, kami berharap survei ini dapat turut mendorong dibuatnya aturan komprehensif yang menjamin keselamatan kerja dari bentuk-bentuk pelanggaran seksual di tempat kerja,” kata Trinzi dikutip dari magdalen.co.

Komnas Perempuan Ingin Seluruh Kantor Punya Layanan Pengaduan Kekerasan Seksual

Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menyadari banyaknya kasus kekerasan seksual di dunia kerja, hal ini diungkapkankan Komisaris Komnas Perempuan, Magdalena Sitorus. Menurut Magdalena, kekerasan seksual di tempat kerja ini berkaitan dengan relasi kuasa, pelaku biasanya memanfaatkan kekuasaannya untuk melakukan tindak kekerasan itu pada penyintas.

"Kekerasan seksual di dunia kerja cukup banyak (terjadi). Ada hubungan relasi kuasa, ada posisi tawar, yang menggunakan kekuasaan untuk melakukan hal itu," kata Magdalena di Jakarta, Sabtu (28/12/2018).

Lalu wacana apa yang diusulkan Komnas Perempuan sebagai usaha dalam menciptakan suasana kerja yang jauh dari kekerasan seksual? Berdasarkan informasi dari Magdalena, Komnas Perempuan mengusulkan, setiap institusi harus memiliki layanan pengaduan.

Hal itu perlu segera dilakukan karena saat terjadi kekerasan seksual, pekerja yang menjadi korban bisa tahu kemana harus meminta pertolongan.
Penyediaan layanan pengaduan kekerasan ini juga akan meyakinkan calon pegawai di sebuah institusi bahwa institusi tempatnya akan bekerja merupakan institusi yang tidak mentolerir kekerasan.

"Ini juga yang kami dorong agar di tempat kerja itu juga ada bagian pengaduan, jadi suatu institusi harus punya itu (layanan pengaduan). Jadi jika terjadi sesuatu, staf atau pegawai, dia tahu harus ke mana, karena sejak awal kerja di situ, dia tahu kalau lembaga itu juga anti kekerasan, kemudia juga pengadaan layanan yang harus diketahui harus dihubungi ke mana," jelas Magdalena.

Lebih lanjut Magdalena mengungkapkan, jika perempuan mengalami tindak kekerasan, sebetulnya bisa mengadukan kekerasan yang dialaminya ke Komnas Perempuan.

"Tentu Komnas Perempuan juga menjadi tempat yang bisa didatangi, saya katakan bahwa kami tidak menangani kasus perkasus. Tapi kami menangani dan memberikan dorongan dan informasi seperti apa, referensi seperti apa, ke lembaga yang patut dan harus mereka datangi sesuai dengan kasusnya," tuturnya.

Sementara itu, hingga saat ini Komnas Perempuan terus mendorong pengesahan rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), sebab sejak awal Komnas Perempuan sudah menginisiasi adanya UU PKS ini.

Bagi Komnas Perempuan, meski belum ada peraturan spesifik dari Departemen Ketenagakerjaan terkait kekerasan seksual di lingkungan kerja, setidaknya melalui UU PKS, kasus kekerasan seksual di lingkungan kerja bisa lebih banyak lagi diungkap ke publik.

Pasalnya Komnas Perempuan berpandangan kasus kekerasan seksual terutama di lingkungan kerja masih belum banyak dilaporkan, tak ayal hal ini dikatakan sebagai fenomena gunung es.

“Kami mendorong terus (pengesahan UU PKS), melihat tiga tahun ke belakang, ini (UU PKS) terus disuarakan dengan mengajak seluruh komponen masyarakat. Jadi ini bukan hanya milik Komnas Perempuan meski ini inisiasi dari Komnas Perempuan,” jelas Magdalena

“Kami (Komnas Perempuan) coba membahas substansinya, tapi ini milik masyarakat, bahwa masyarakat juga melihat bahwa kebutuhannya sudah urgent banget. Ini sulit untuk dibuktikan, baik di wilayah domestik, di wilayah publik, misalnya di tempat kerja, ini (kasus kekerasan seksual) banyak yang tidak terangkat, berapa banyak yang tidak terangkat?,” tandasnya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rights For The Victims; Solution (Part 3-Finale)

Hoax dan Orang Tua; Sefruit Tips Meliterasi Baby Boomers & X

Touched by Jackie and Her Love to Him