Kapan Kebebasan Akan Diri Sendiri Didapat oleh Perempuan?

Terlalu sering ku mendengar anggapan kalau perempuan harus segera menikah, agar tanggung jawab orang tua bisa beralih. Ya beralih menjadi tanggungjawab sang lelaki yang secara legal menjadi suami si perempuan.

Kenapa sih? Kenapa perempuan sebelum menikah dianggap sebagai 'beban' tanggungjawab orang tua kemudian setelah 'transaksi' itu otomatis 'beban' tanggungjawab berpindah ke suami yang sebetulnya bagi saya adalah partner si perempuan (kurang pas bagi saya jika satu pihak membebani pihak lainnya yang dianggap setara)

Tidak bisakah kita mewajarkan narasi 'yang bertanggungjawab terhadap perempuan ya perempuan itu sendiri'. Sebegitu lemah dan tak berdayanya kah perempuan sampai-sampai dianggap tak mampu memikul tanggungjawab terhadap dirinya sendiri?

Padahal saat ini sudah banyak perempuan yang merengkuh kebebasannya di ruang publik, mendapatkan haknya untuk bekerja dan menggali ilmu, turut berkompetisi di dunia yang ya lagi-lagi harus saya akui, dunia yang masih diselimuti patriarki.

Bukannya takabur, ini bentuk optimisme, saya yakin perempuan bisa menjadi pemimpin untuk dirinya sendiri, artinya perempuan mampu bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri.

Apa maksudnya? Ya bertanggungjawab; mampu menjaga dirinya sendiri, sadar dengan konsekuensi dari tindakan yang diambilnya, mampu menentukan tujuan hidupnya dan merencanakan strategi kehidupannya senidiri karena saya yakin perempuan pun mampu berpikir rasional.

Jika anggapan 'perempuan menjadi tanggungjawab orang tuanya atau saudara lelakinya sebelum menjadi tanggungjawab suaminya' terus dilanggengkan, lalu kapan perempuan betul-betul mendapatkan kebebasan akan dirinya sendiri?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rights For The Victims; Solution (Part 3-Finale)

Hoax dan Orang Tua; Sefruit Tips Meliterasi Baby Boomers & X

The Evolution of Barbie, Let's Break The Unrealistic Beauty Standard!